GAMBARAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA
GAMBARAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA
Urip Tri Wijayanti
Putu Yusup Agung Nurpratama
PENDAHULUAN
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk provinsi Jawa Tengah tahun 2018 sebanyak 34.490.835 jiwa dengan 24,08 persen merupakan penduduk dalam kategori remaja (umur 10-24 tahun). jumlah remaja ini akan terus meningkat seiring dengan perubahan struktur usia penduduk. Jumlah remaja yang banyak merupakan potensi bagi pembangunan di Jawa Tengah, asalkan diimbangi dengan peningkatan kualitas. Kualitas dari sisi pendidikan dan ketrampilan dalam menyongsong perubahan-perubahan yang terjadi. Sebaliknya remaja yang tidak berkualitas hanya menjadi beban pembangunan.
Faktanya remaja tidak lepas dari berbagai permasalahan. Salah satunya pernikahan dini. Pasca perubahan batasan usia menikah, permohonan dispensasi kawin di Jawa Tengah meningkat. Data Pengadilan Agama Jawa Tengah tahun 2019 terjadi peningkatan dispensasi sebesar 286,2 persen (F&N, 2019) Data tahun sebelumnya menurut Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), tahun 2016 ada 30.128 perempuan di bawah umur mengajukan dispensasi untuk melangsungkan pernikahan, dari jumlah tersebut yang disetujui hanya sekitar 2.900 anak. Berarti ada sekitar 30.000 anak melangsungkan pernikahan dengan cara menuakkan umur atau di bawah tangan (Saputra, 2017). Data Perwakilan BKKBN Provinsi Jawa Tengah mencatat hal yang serupa ada 30 ribuan kasus pernikahan dini, dari angka tersebut yang diberi dispensasi oleh kantor Pengadilan Agama hanya 10 persennya, atau hanya tiga ribu (Premana, 2019).
Secara umum yang melatarbelakangi remaja menikah dini karena sudah melakukan seks pra nikah (Amanda, 2017). Data tentang remaja melakukan seks pra nikah dapat dilihat pada hasil Survei Kinerja Akuntabilitas Program (SKAP 2019). Di Jawa Tengah ada sekitar 1,9 persen remaja laki-laki yang sudah melakukan hubungan seksual sebelum menikah sementara remaja perempuan sebanyak 0,4 persen (BKKBN, 2019).
Dampak seks bebas tanpa pengamanan alat kontrasepsi menyumbangkan peningkatan penderita HIV/AIDS di kalangan remaja. Pada tahun 2015 jumlah kasus AIDS di Kota Semarang sebanyak 51 kasus, angka ini meningkat dibandingkan tahun 2014 sebesar 40 kasus, dan meninggal sebanyak 3 orang. Secara total penderita HIV di Jawa Tengah tahun 2017 mencapai 4.472 orang. Penyakit HIV tersebar merata pada berbagai kabupaten/kota di Jawa Tengah. Tetapi, 70 persen kasus berasal dari Kota Semarang ( Rahadi, & Indarjo, 2017). Di kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah penderita HIV/AIDS didominasi para remaja usia 16-20 tahun (Fahmi, 2017). Data dari Direktorat PLP Kemenkes, ternyata Jateng menduduki peringkat ke empat tertinggi untuk jumlah kasus HIV AIDS setelah Papua. Jumlah pengidap sekitar 19.272 orang (Arifin, 2018)
Kita akan semakin miris terkait dampak seks bebas, seperti data yang dikeluarkan Ind Police Watch (IPW), IPW mencatat sepanjang tahun 2017 di provinsi Jawa Tengah ada 13 kejadian kasus pembuangan bayi baru lahir (Ass, 2018). Kasusnya 4 bayi meninggal dunia dan 9 hidup (Ass, 2018). Bayi-bayi yang dibuang kemungkinan besar proses persalinannya tanpa bantuan tenaga medis. Hal ini bisa membahayakan nyawa ibu dan bayinya.
Tulisan ini bertujuan mengetahui pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi di Provinsi Jawa Tengah dengan bersumber data Survei Kinerja Akuntabilitas Program (SKAP) tahun 2019. Lebih jauh studi ini menggali pengetahuan dari sisi masa subur, pengetahuan tentang dapat hamil, rata-rata umur menikah, rencana menikah dan akibat menikah muda. Dimensi-dimensi tersebut belum banyak diteliti dari riset-riset sebelumnya.
PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden Menurut Daerah Tempat Tinggal, Umur dan Pendidikan
Hasil analisis deskriptif dari gambaran responden menurut tempat tinggal, umur dan pendidikan dipaparkan berikut ini.
Sebanyak 53,7 persen responden berasal dari perdesaan sisanya 46,3 persen perkotaan. Berdasarkan daerah tempat tinggal responden lebih banyak pada daerah perdesaan. Kondisi perdesaan berbeda dengan perkotaan dalam hal akses informasi. Perdesaan minim akan sarana bermuatan kesehatan reproduksi seperti baliho, spanduk, poster. Keterbatasan ini harapannya tidak menjadi penghalang remaja perdesaan mengakses segala hal terkait kesehatan reproduksi remaja. Sehingga mereka mampu berperilaku sehat dan menjadi tauladan bagi remaja-remaja dilingkungannya. Sebab lingkungan tempat tinggal berkontribusi pada perilaku individunya, seperti hasil penelitian Azwar (2009) kebudayaan dimana seseorang tinggal dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap. Selanjutnya sikap tersebut nantinya akan mempengaruhi perilaku seseorang. (Azwar, 2009)
Kemudahan dan kelengkapan pada daerah perkotaan seharusnya dimanfaatkan remaja perkotaan untuk mengakses pengetahuan kesehatan reproduksi remaja. Sesuai teori Mubarak (dalam Dewi, 2012), kemudahan untuk memperoleh suatu informasi dapat mempercepat seseorang memperoleh pengetahuan yang baru.
Menurut umur, rentan umur 10-14 tahun untuk remaja laki-laki sebanyak 42 pesren, perempuan 48,4 persen. Umur 15-19 tahun laki-laki sebanyak 37, 5 persen, perempuan 37, 3 persen. Rentan 20-24 tahun laki-laki sebesar 20,5 persen dan perempuan 14,3 persen. Maka secara umur baik remaja laki-laki maupun perempuan berkisar pada rentan umur 10-14 tahun. Rentan usia tersebut termasuk pada remaja awal. Menurut Kartono ( 2011) remaja pada usia tersebut mengalami perubahan jasmani yang sangat pesat dan perkembangan intelektual yang sangat intensif, sehingga minat anak pada dunia luar sangat besar dan pada saat ini remaja tidak mau dianggap kanak-kanak lagi namun belum bisa meninggalkan pola kekanak-kanakannya. selain itu remaja sering merasa sunyi, ragu-ragu, tidak stabil, tidak puas dan merasa kecewa. Disinilah peran orang dewasa/orang tua untuk membimbing, mengarahkan dan mendidik terutama memberikan pendidikan kesehatan reproduksi secara menyeluruh.
Sudah tidak saatnya keluarga menganggap tabu untuk memberikan pemahaman tentang kesehatan reproduksi, agar remaja tidak terpapar pada pornografi. Data BKKBN dalam (Supriati & Fikawati, 2009) Indonesia sebagai negara kedua setelah Rusia yang paling rentan penetrasi pornografi terhadap anak-anak. Peran keluarga terutama orang tua sangat diharapkan dalam menerapkan 8 fungsi keluarga, salah satunya fungsi sosialisasi dan pendidikan. Sejalan dengan teori Mubarok (dalam Dewi, 2012) orang tua khususnya ibu mempunyai peran penting dalam memberikan informasi kepada anaknya. Bekal yang ada pada orang tua menjadi pendidikan pertama dan utama bagi anak-anaknya. Keluarga mengajarkan apa yang boleh dan tidak boleh, apa yang dilarang baik ukuran norma maupun ajaran agama.
Menurut pendidikan tidak pernah sekolah sebanyak 0,7 persen, SD 24,9 persen, SLTP 34,6 persen, SLTA 35, 9 persen, sisanya Perguruan Tinggi 3,9 persen. Secara umum responden menempuh pendidikan sampai tingkat SLTA (35,9 %). Namun masih ada remaja tidak mengenyam pendidikan wajib belajar 12 tahun yaitu SD sampai SLTA. Keadaan ini harus mendapatkan perhatian pemerintah terutama Dinas Pendidikan yang memiliki konsentrasi pada pendidikan wajib belajar 12 tahun.
Semakin tinggi pendidikan seharusnya semakin lengkap pengetahuan tentang kesehatan reproduksi remaja. Sehingga memiliki sikap cenderung menghindari seks beresiko. Hal ini sejalan dengan Azwar (2009), bahwa sikap seksual pra nikah remaja yang bisa menjerumus pada seksual beresiko dipengaruhi banyak faktor, mulai dari kebudayaan, orang yang dianggap penting, media massa, pengalaman pribadi, lembaga pendidikan, lembaga agama dari dalam individu. (Azwar, 2009). Meskipun pada lembaga pendidikan khususnya guru belum optimal dalam menyampaikan tentang kesehatan reproduksi remaja seperti hasil penelitian Pawestri (2018) bahwa guru dalam memberikan materi sesuai standart kompetensi pendidikan KRR di SMA, materi tentang kehamilan, KB, hubungan seks tidak perlu diberikan, karena guru masih sungkan dan tabu saat mengajar hal tersebut.
B. Pengetahuan Remaja Tentang Kesehatan Reproduksi
Pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi remaja meliputi pengetahuan tentang masa subur, periode masa subur, pengetahuan tentang dapat hamil meskipun hanya sekali melakukan hubungan seksual, pengetahuan rata-rata (mean) umur sebaiknya menikah pertama, melahirkan pertama dan umur aman melahirkan, umur rencana menikah dan akibat menikah muda. Kesemuanya itu akan dibahas pada penjelasan berikut.
Persentase remaja menurut pengetahuan mengenai masa subur, sebnayak 45,8 persen tidak pernah mendengar istilah masa subur, 40,7 mengatakan ya dan sisanya 13,5 tidak tahu. Maka secara umum remaja tidak pernah mendengar istilah masa subur wanita (45,8%). Hal ini perlu mendapatkan perhatian serius bagi Perwakilan BKKBN Provinsi Jawa Tengah untuk melakukan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) pada remaja-remaja. KIE bisa dilakukan di sekolah, tempat ibadah bahkan pada komununitas remaja. Pengetahuan tentang masa subur wanita penting bagi remaja, sebab bila pada masa subur, seorang wanita melakukan hubungan seksual maka besar kemungkinan terjadi kehamilan. Bila remaja tidak memiliki pengetahuan tentang masa subur sangat dikhawatirkan akan coba-coba dan bisa menambah deretan panjang kehamilan pra nikah.
Dari 40,7 persen responden yang mengetahui masa subur, hanya 13,4 persen yang mengetahui masa subur dengan baik yaitu terjadi ditengah antara dua haid. Selebihnya masih perlu mendapatkan KIE tentang masa subur. Proses tersebut perlu adanya dukungan dari beragai pihak, baik orang tua, tokoh agama, masyarakat bahkan pusat-pusat pelayanan bagi remaja. PIK-R merupakan salah satu wadah pembinaan yang ditujukan untuk remaja. disini remaja bisa mendapatkan pemahaman tentang pendewasaan usia pekawinan, seksualitas, ketrampilan hidup, kebersihan dan kesehatan diri, bahaya HIV/AIDS dan Napza, bagaimana berkomunikasi yang efektif dengan orang tua dll bahkan pada pusat ini remaja dapat berkonsultasi dengan teman sebayanya.
Berdasarkan pengamatan di lapangan banyak remaja laki-laki memahami masa subur berbeda dari pemahaman remaja perempuan. Berkaca pada hasil penelitian Vierhaus, et al (dalam Muflih, 2014), bahwa persepsi antara laki-laki dan perempuan cenderung berbeda karena dipengaruhi oleh pengalaman dalam pergaulannya, remaja laki-laki lebih cenderung bebas dari pada perempuan, hal ini dikarenakan anggapan masyarakat bahwa laki-laki dianggap biasa jika bergaul secara bebas daripada perempuan.
Persentase Remaja Menurut Pengetahuan Tentang Remaja Perempuan Dapat Hamil Dalam Sekali Hubungan Seksual, 52,8 persen dapat hamil, 18,3 persen tidak dapat hamil dan 28,9 persen tidak tahu. Secara umum remaja mengetahui tentang remaja perempuan dapat hamil dalam sekali hubungan seksual. Meskipun hanya sekali berhubungan seksual tetap bisa hamil, hal ini karena saat melakukan hubungan seksual kondisi perempuan berada pada masa subur. Pemahaman tentang hal tersebut wajib diketahui seluruh remaja.
Secara umum pengetahun remaja tentang kesehatan reproduksi sudah baik, mulai dari umur perempuan sebaiknya menikah pertama sampai umur tertinggi yang aman melahirkan. Kesemuanya sudah sesuai program BKKBN yaitu pendewasaan usia perkawinan dimana usia minimal seorang perempuan menikah usia 21 tahun dan laki-laki 25 tahun. Batasan usia tersebut dianggap sudah siap menghadapi kehidupan keluarga dipandang dari sisi kesehatan dan perkembangan emosional. Kemudian bila melihat bagan reproduksi sehat usia aman wanita melahirkan pada usia 20 tahun dan mengakhiri kelahiran pada usia diatas 35 tahun (BKKBN, 2013). Sebab perempuan menikah dibawah 20 tahun memiliki dampak yang cukup luas baik dari sisi biologis maupun psikologis. Seperti hasil penelitian Minarni, Andayani, & Haryani (2014) bahwa dampak biologis dari pelaksanaan pernikahan dini dapat terjadi anemia pada ibu hamil, bersalin maupun ibu menyusui kemudian dampak psikologisnya dapat menimbulkan terjadinya kecemasan, stress, depresi dan perceraian.
Persentase remaja laki-laki menurut umur rencana menikah menunjukkan sebanyak 47 % remaja laki-laki akan menikah pada usia 23-25 tahun. Perencanaan ini sudah sesuai dengan program pendewasaan usia perkawinan. Namun masih ada remaja akan menikah pada usia < 20 tahun bahkan ada remaja yang tidak tahu pada usia berapa akan menikah. Hal ini karena secara umum responden pada penelitian ini berusia 10-14 tahun. Sehingga belum terpikirkan untuk menikah bahkan merencanakanpun belum terbesit pada benak mereka.
Perencanaan yang tersusun secara baik merupakan awal menuju keberhasilan. Apa lagi perencanaan tentang perkawinan, beberapa hal perlu dipersiapkan agar terwujud keluarga yang bahagia. Mulai dari perencanaan mental, fisik, ekonomi, kesehatan, pendidikan dll. Pada aspek kesehatan perempuan harus menikah diatas usia 20 tahun sebab anatomi tubuh perempuan berusia kurang dari 20 tahun belum siap untuk proses mengandung maupun melahirkan sehingga dapat terjadi komplikasi, bayi lahir prematur, bayi lahir cacat bawaan, kebutaan, ketulian serta resiko lainnya. Kemudian aspek ekonomian perlu adanya kesiapan dalam hal ekonomi, sebab faktor ini menjadi salah satu sumber ketidakharmonisan keluarga. (BKKBN, 2013). Aspek psikologis, pasangan yang memiliki kesiapan untuk menjalani kehidupan perkawinan akan lebih mudah menerima dan menghadapai segala konsekuensi persoalan yang timbul dalam perkawinan. Aspek pendidikan dan ketrampilan merupakan salah satu aspek yang harus dimiliki dalam mengarungi bahtera rumah tangga, sebab pendidikan merupakan penopang dan sumber utama untuk mencari nafkah dalam upaya memenuhi segala kebutuhan dalam rumah tangga (BKKBN, 2013)
Persentase remaja perempuan menurut umur rencana menikah, menunjukkan remaja perempuan akan menikah ketika mereka berusia 23-25 tahun (42,2 %). Menurut program pendewasaan usia perkawinan usia yang ideal seorang perempuan menikah ketika berusia minimal 21 tahun. Secara umum para remaja sudah cukup memiliki perencanaan yang baik tentang usia saat menikah, hanya saja masih ada remaja akan menikah pada usia < 20 tahun yaitu sebesar 4,3 %. Dalam masa reproduksi usia dibawah 20 tahun adalah usia yang dianjurkan untuk menunda perkawinan dan kehamilan. Di masa ini juga remaja masih dalam proses tumbuh kembang baik secara fisik maupun psikis. Apa bila ada pasangan yang menikah pada usia tersebut maka dianjurkan untuk menunda kehamilan sampai usia istri 20 tahun dengan menggunakan alat kontrasepsi.
Perempuan hamil pada usia dibawah 20 tahun memiliki resiko cukup banyak mulai dari keguguran, pre eklampsia, infeksi, anemia, kanker rahim dan paling fatal kematian ibu dan bayinya. Maka dari itu perempuan harus memiliki perencanaan yang baik tentang usia menikah agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan pada diri sendiri baik dari segi kesehatan maupun psikisnya.
Persentase pengetahuan remaja tentang akibat menikah muda, menunjukkan 51 persen remaja tahu tentang akibat menikah muda, namun hasil penelitian ini juga harus mendapatkan perhatian sebab masih ada 49 persen remaja yang tidak tahu. Maka dari itu KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) tentang program pendewasaan usia perkawinan harus ekstra ditingkatkan baik melalui sosialisasi di sekolah-sekolah, perguruan tinggi maupun melalui media cetak dan elektronik. Apa lagi saat ini perkembangan teknologi yang semakin canggih bisa menjadi media yang lebih mudah dan cepat dalam menyampaikan arus informasi. KIE kreatif dikemas dengan bahasa mengena, penampilan menarik dan penggunaan tema-tema up to date bisa menjadi sarana KIE paling efektif
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil SKAP 2019 dapat disimpulkan beberapa hal, pertama sebanyak 40,7 persen remaja mengetahui tentang masa subur, namun dari persentase tersebut hanya 13,4 persen yang memiliki pengetahuan memadai tentang periode masa subur. Kedua, masih ada remaja yang memiliki pengetahuan mengenai perempuan tidak akan dapat hamil ketika hanya sekali berhubungan seksual ( 28,9 %) dan tidak tahu sebanyak 18,3 persen. Ketiga, masih ditemukan remaja laki-laki yang berencana menikah pada usia < 20 tahun (2,1 %), begitu pula remaja perempuan yang berencana menikah pada usia < 20 tahun (4,3 %). Hal ini tentu saja belum sesuai dengan program pendewasaan usia perkawinan. Terakhir keempat, sebanyak 49 persen remaja tidak mengetahui akan akibat menikah di usia muda. Untuk itu perlu digalakkan Komunikasi Informasi dan Edukasi tentang kesehatan reproduksi remaja dan pendewasaan usia perkawinan secara menyeluruh disekolah maupun pada kelompok-kelompok kegiatan.
DAFTAR PUSTAKA
Amanda. (2017). Ada 347 Pernikahan Anak di Bawah umur di Kabupaten Semarang Karena Seks Pranikah. https://jateng.tribunnews.com/2018/01/24/ada-347-pernikahan-anak-di-bawah-umur-di-kabupaten-semarang-karena-seks-pranikah.
Azwar, S. 2009. ”Sikap Manusia teori dan pengukurannya”. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset
https://core.ac.uk/download/pdf/12345212.pdf, diakses pada tanggal 12 Juni 2020
Arifin. (2018). Jumlah Penderita HIV AIDS Di Jateng Duduki Peringkat Ke empat Nasional Setelah Papua. https://jateng.tribunnews.com/2018/11/22/jumlah-penderita-hiv-aids-di-jateng-duduki-peringkat-keempat-nasional-setelah-papua.
Ass. (2018). Sepanjang 2017, Kasus LGBT dan Seks Mengkhawatirkan. https://www.panjimas.com/news/2018/01/02/ipw-sepanjang-2017-kasus-lgbt-dan-seks-bebas-mengkhawatirkan/IPW: Sepanjang 2017, Kasus LGBT dan Seks Bebas Mengkhawatirkan.
Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional. (2013). Kurikulum Diklat Teknis Pengelolaan PIK Remaja/Mahasiswa Bagi Pengelola, Pendidik Sebaya dan Konselor Sebaya PIK Remaja/Mahasiswa. Jakarta.
BKKBN. (2019). Survei Kinerja dan Akuntabilitas Program KKBPK Tahun 2018-Panduan Pewawancara. Jakarta:BKKBN
Dewi, A. C., Tinggi, S., Kesehatan, I., & Surakarta, A. (2012). Hubungan antara tingkat pengetahuan ibu kesehatan reproduksi remaja, 9(2), 17–25. Retrieved from https://jurnal.stikes-aisyiyah.ac.id/index.php/gaster/article/view/36/33
Fahmi. (2017). Jumlah Remaja Penderita HIV/AIDS di Purbalingga Terus Meningkat. https://regional.kompas.com/read/2017/10/09/09333791/jumlah-remaja-penderita-hivaids-di-purbalingga-terus-meningkat.
Kartono, Kartini. (2011). Patologi Sosial. Jakarta : Rajawali Pres.
Minarni, M., Andayani, A., & Haryani, S. (2014). Bergas Kabupaten Semarang. Jurnal Keperawatan Anak, 2, 95–101. Retrieved from https://ppnijateng.org/wp-content/uploads/2017/01/Keperawatan-Anak_-place-VOL-2-no-2.35-41.pdf
Muflih. (2014). Engetahuan Kesehatan Reproduksi Berhubungan Dengan Kepercayaan Diri Remaja Untuk Menghindari Seks Bebas. Jurnal Keperawatan, 5(1), 23–30. Retrieved from https://ejournal.umm.ac.id/index.php/keperawatan/article/view/1857
Pawesti. (2011). Persepsi Guru SMA Kota Semarang Tentang Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja. Proseding,seminar Nasional Keperawatan PPNI, 36.
Supriati, E., & Fikawati, S. (2009). EFEK PAPARAN PORNOGRAFI PADA REMAJA SMP NEGERI KOTA PONTIANAK TAHUN 2008 Effect of Pornography Exposure on Junior High School Teenagers of Pontianak in 2008. Makara. Sosial Humaniora, 13(1), 48–56. Retrieved from https://journal.ui.ac.id/index.php/humanities/article/viewFile/210/206
Rahadi, D. S., & Indarjo, S. (2017). Jurnal of Health Education Perilkau Seks Bebas Pada Anggota Club Motor X, 2(2), 115–121.